Cara Menyusun KI dan KD Kurikulum Merdeka

 

Cara Menyusun KI dan KD Kurikulum Merdeka

Cara Menyusun KI dan KD pada Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka berbeda dari kurikulum sebelumnya karena tidak lagi menggunakan istilah KI (Kompetensi Inti) dan KD (Kompetensi Dasar) secara eksplisit. Sebagai gantinya, Kurikulum Merdeka menggunakan CP (Capaian Pembelajaran) dan TP (Tujuan Pembelajaran).

Namun bagi guru yang masih ingin menyesuaikan CP & TP dengan format lama (KI & KD), berikut tutorial mudahnya.

🧩 Apa itu KI dan KD?

KI (Kompetensi Inti) adalah rumusan tingkat kemampuan peserta didik secara umum dalam aspek sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan.

KD (Kompetensi Dasar) adalah kemampuan minimal yang harus dicapai oleh peserta didik untuk suatu mata pelajaran tertentu di tiap jenjang kelas.

🔁 Perubahan di Kurikulum Merdeka

Kurikulum 2013: KI & KD

Kurikulum Merdeka: CP (Capaian Pembelajaran) & TP (Tujuan Pembelajaran)

Maka untuk menyusun KI & KD versi Kurikulum Merdeka, kamu bisa mengikuti alur berikut:

📌 Langkah-langkah Menyusun "KI & KD" dari CP & TP

  1. Baca dokumen CP (Capaian Pembelajaran) untuk fase dan jenjang kelasmu.
  2. Identifikasi kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan di dalam CP tersebut.
  3. Susun rumusan KI dari aspek: spiritual, sosial, pengetahuan, keterampilan.
  4. Turunkan TP (Tujuan Pembelajaran) menjadi KD sesuai urutan pembelajaran dan topik.
  5. Pastikan rumusan jelas, operasional, dan dapat diukur.

📚 Contoh Penyusunan KI dan KD dari CP

Mata Pelajaran: PAI dan Budi Pekerti

Fase: D (SMP Kelas 7–9)

Contoh CP: "Peserta didik mampu memahami rukun iman dan meneladani sifat-sifat wajib bagi Rasul Allah."

KI:

  • KI 1: Menghargai dan menghayati ajaran agama Islam yang dianutnya.
  • KI 2: Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, dan santun.
  • KI 3: Memahami rukun iman dan sifat wajib Rasulullah SAW.
  • KI 4: Menyajikan hasil pemahaman tentang rukun iman dan keteladanan Rasul dalam kehidupan sehari-hari.

KD:

  • KD 3.1: Memahami pengertian dan rukun iman secara benar.
  • KD 3.2: Menjelaskan sifat wajib Rasul Allah.
  • KD 4.1: Menyusun contoh sikap sehari-hari yang mencerminkan rukun iman.
  • KD 4.2: Menampilkan sikap meneladani sifat Rasul dalam kehidupan.

📝 Tips Penyusunan KD

  • Gunakan kata kerja operasional (mengidentifikasi, menjelaskan, menyajikan, menganalisis).
  • Pastikan keterkaitan antara KD Pengetahuan (3.x) dan Keterampilan (4.x).
  • Susun berurutan sesuai urutan pembelajaran.

🎯 Penutup

Meskipun Kurikulum Merdeka tidak lagi menggunakan istilah KI & KD, guru tetap bisa menyusunnya sebagai kerangka pribadi atau sebagai adaptasi dari CP dan TP. Semoga tutorial ini membantu para pendidik menyusun rencana pembelajaran yang lebih jelas dan terukur.

“Guru bukan hanya pengajar, tapi pemantik cahaya dalam gelapnya ketidaktahuan.”

Matahari yang Belum Sempurna: Potret Pendidikan di Era Kini

 

Matahari yang Belum Sempurna: Potret Pendidikan di Era Kini

Di negeri yang katanya menjunjung ilmu setinggi langit, dunia pendidikan adalah ladang harapan dan sekaligus cermin keraguan. Ia adalah taman yang semestinya tumbuh bunga-bunga nalar, namun acap kali dirundung hujan sistem yang beku. Dalam buku-buku pelajaran yang rapi, terselip mimpi-mimpi anak bangsa yang kadang tak sempat disemai.

Pendidikan hari ini bukan tanpa cahaya. Ia tetap menyala, meski kadang redup di sudut-sudut kelas yang lapuk. Kita menyaksikan layar-layar laptop menggantikan papan tulis, dan suara guru kini bisa mengalir lewat kabel-kabel digital. Tapi adakah semua anak punya telinga untuk mendengar? Adakah semua tangan bisa menjangkau sinyal di puncak gunung atau di lembah-lembah sunyi?

Zaman telah berubah. Gawai kini lebih dekat daripada buku, dan informasi meluncur deras, kadang lebih cepat dari pemahaman. Anak-anak tidak lagi hanya duduk diam mendengar, mereka bertanya, mencari, dan menantang. Ini adalah era di mana guru bukan satu-satunya sumber ilmu, melainkan penjaga api agar nyala ingin tahu tak padam.

Namun, di balik layar laptop dan papan tulis digital, kita masih menjumpai ketimpangan yang menyesakkan dada. Sekolah-sekolah mewah di kota-kota besar berdiri megah, dengan ruang ber-AC dan lab berteknologi tinggi. Tapi di pelosok, di batas-batas negeri yang terlupakan, anak-anak berjalan kaki berjam-jam demi seberkas cahaya ilmu. Di sana, papan tulis kadang hanya kayu lapuk, dan buku pelajaran diwariskan dari angkatan ke angkatan.

Pendidikan kita sedang menari di dua dunia. Satu yang melaju cepat seperti kereta peluru, dan satu lagi tertatih, menyeret kaki di jalanan berlumpur. Di antara keduanya, ada jutaan anak yang menggantungkan masa depan. Mereka bukan angka statistik; mereka adalah nyawa yang bermimpi, mata yang mengharapkan cakrawala baru.

Guru, sang penjaga lentera, juga tengah diuji. Beban administrasi yang menumpuk, kurikulum yang terus berubah, dan tekanan dari berbagai arah membuat banyak guru kehilangan waktu untuk mendidik dengan hati. Padahal, sejatinya pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi penanaman nilai—tentang menjadi manusia.

Apakah kita masih ingat bahwa belajar bukan hanya soal nilai dan ujian? Bahwa kecerdasan tidak hanya diukur dari angka-angka di rapor, melainkan dari keberanian bertanya, dari empati kepada sesama, dari kejujuran saat tak ada yang melihat?

Kini, kita berdiri di persimpangan. Dunia terus bergerak, dan pendidikan tak boleh tertinggal. Teknologi adalah sahabat yang bisa mempercepat langkah, tapi juga bisa menjadi cermin ketimpangan jika tak dibarengi dengan keadilan akses. Maka tugas kita bukan sekadar membangun ruang kelas digital, tapi juga membuka jendela keadilan.

Ada harapan, selalu ada. Di senyum siswa yang datang lebih pagi dari matahari, di semangat guru yang mengajar meski gajinya tak seberapa, di komunitas yang membangun sekolah dengan gotong-royong. Pendidikan, sejauh apa pun jalannya, tetaplah ladang suci yang akan melahirkan generasi penentu arah bangsa.

Maka mari kita rawat pendidikan ini seperti taman yang membutuhkan cahaya, air, dan kasih sayang. Jangan biarkan ia jadi pabrik yang mencetak seragam-seragam tanpa jiwa. Biarkan ia tumbuh, liar tapi indah, dengan anak-anak yang berani bermimpi, bertanya, dan menjadi lebih dari sekadar lulus ujian.

Pendidikan bukanlah proyek lima tahun. Ia adalah warisan abadi, yang jejaknya akan terbaca dalam sejarah bangsa. Mari kita jadikan dunia pendidikan bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat pulang—bagi akal, bagi nurani, dan bagi masa depan yang lebih manusiawi.